Apalah arti sebuah nama, apalagi kalau nama tersebut terkesan “dipaksakan” dan bukan menjadi kemauan hati sendiri melainkan produk kebijakan politis belaka.
seperti sebuah film yang berjudul Sugiharti Halim,tentang identitas seorang Tionghoa.
adegan film diawali dengan seorang perempuan sipit bergigi “agak” tonggos dengan jengahnya memulai film dengan perkataan
“nama gua Sugiharti Halim, bokap nyokap gua yah keturunan Cina, cuman mereka ngasih nama yang rada rada Indonesia banget yah. mungkin mereka nggak ngerti arti nama itu, karena siapa sih yang tega ngasih nama Sugiharti”
dalam bahasa Jawa Sugiharti berarti “kaya (Sugih) Harti (Harta) dan seakan mempertanyakan kenapa ia diberikan nama itu, terlebih ketika ia mencari di Google dan tidak menemukan kata Sugiharti melainkan Sugiharto, dan juga ketika menemukan Sugiharti malah menemukan artikel seorang joki 3 in 1 yang digunduli oleh satpol PP.
sepanjang Film, ia berbicara panjang lebar kepada teman lelaki yang bengong dan merasa bosan dengan celotehan Sugiharti dengan permasalahan nama dan identitasnya, sampai akhirnya ia menemukan seseorang dengan pengalaman yang sama, Tan Ging Le, yang tetap dengan identitasnya namun tetap juga diolok olok Cina Gile oleh teman teman SMPnya.
apa sih yang istimewa dari film “Sugiarti Halim”? kenapa sebuah nama menjadi polemik dan anekdot yang mewarnai film ini?
Film ini mewakili pertanyaan pertanyaan yang sampai sekarang mungkin sulit ditemukan jawabannya, yakni identitas diri seorang Tionghoa melalui sebuah nama, dan saya gak membahas tentang isi film ini, namun lebih ke apa yang terjadi dengan identitas orang orang Tionghoa dinegara ini.
alkisah pada dahulu kala, ketika terjadi pemberangusan kebudayaan Tionghoa, diterbitkanlah Keppres nomor 127/U/Kep/12/ 1966, yang mewajibkan WNI etnis Cina untuk mengadopsi nama bernada Indonesia (contoh: Liem menjadi Halim, Lo/Loe/Liok menjadi Lukito, dll),
dan akhirnya, beberapa orang memilih nama serba Jawa, Manado, dan berbagai tempat di Indonesia yang bisa disambung sambungkan dengan nama marga Tionghoanya.
Liem jadi Halim, Ong atau Wang menjadi Ongko.
nama Tionghoa yang sekedar dipaksa paksakan menjadi Indonesia untuk menutupi identitas sebenarnya mereka, yang penting unsur marga dan nama Tionghoa mereka masuk kedalam nama Indonesia mereka.
akhirnya orang orang Tionghoa tiba tiba menjadi Indonesia semua, namun tetap saja di katai Cina dan Chokin walau namanya Budiman Halim, hehe, memang mata sipit dan kulit kuning itu ngga bisa dibohongi.
beberapa orangtua yang pintar memberi nama anak mereka dengan nama nama berbau barat yang kedengarannya keren di telinga Indonesia, bahkan orang Indonesia pun memberi nama anak mereka demikian
mereka dengan senang memberi nama anak mereka : Julian, Patrick, Thomas atau apalah itu daripada Asep, Bonar, dan Ujang..
padahal nama Julian, Patrick dan Thomas juga belum tentu berasal dari akar dari bangsa tersebut, bisa juga itu berasal dari kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan negara asal mereka seperti Irlandia dan Inggris.
kata Julian misalnya, memang dipakai di negara negara Barat, seperti Inggris, US, Irlandia, Jerman, padahal nama itu berasal dari kalimat latin yang berarti Kepunyaan Julius. Julius Caesar yang notabene adalah kaisar Romawi jaman Baheula (ini kalimat sunda yang jadi favorit saya).
padahal kita kan ngga tau kalau Si Asep juga berarti ganteng (kasep) atau berarti baik, nenek moyang kita juga memberi nama kita dengan arti yang baik.
yah kalau kita perhatikan, kata dan nama yang kita jadikan identitas bahkan belum tentu menjadi identitas asal kita.
namun sesuai dengan kata mas atau abang Shakespeare, “What’s in a name? That which we call a rose by any other word would smell as sweet.” -Shakespeare’s Romeo and Juliet (II, ii, 1-2) , lebih baik kita dikenal dengan perbuatan kita daripada dengan nama kita.
saya kenal seorang sales percetakan yang ganteng, tinggi namun saya hampir tergelak ketika kata “Ngatiman” muncul dari mulutnya saat ia memperkenalkan diri..
bayangkan, Ganteng, tinggi namun bernama aneh.
saya baru mengerti ketika ia bilang bahwa marganya adalah “Huang” yang kerap juga bisa disebut “Oey” atau “Ng”
dan saya bisa paham ketika orangtuanya terburu buru memberikan nama dengan mencampurkan marganya dengan nama Jawa yang saya juga nggak ngerti artinya apa.
Lain halnya dengan seorang Relawan dari sebuah organisasi sosial Buddhis yang sudah saya kenal lama, selama ini saya hanya tahu nama Tionghoanya saja namun (sekali lagi) saya tergelak ketika ia menjawab tentang nama Indonesianya
“Saor Suhan” katanya yang kependekan dari “Saya Orang Suku Han”, nama yang menurut saya pribadi mencerminkan identitas Tionghoa-nya, juga seorang guru agama Buddha yang saya hormati bernama belakang Priastana, mungkin sekilas kita pikir ini nama Sunda,
namun setelah ditanya lebih lanjut ternyata artinya Pribumi Asli tapi Cina.. hehe
okey, Film Sugiharti Halim memang belum banyak dilihat oleh penonton Indonesia, namun film yang disutradarai oleh mojang Bandung yang bernama Riani Dharmawan ini diputar oleh festival festival film di Eropa, salah satunya adalah International Film Festival Rotterdam 2009 dan beberapa festival film lainnya.
sudahlah, daripada mengomentari identitas orang lain, lebih baik saya mengomentari identitas saya
nama saya Hendrik Sumardi (perpaduan Barat dan Jawa yang tidak matching)
nama ini saya cantumkan di KTP saya yang akhirnya saya rubah di facebook.
saya cantumkan nama marga saya Ng (Wu dalam bahasa Mandarin) di profile facebook saya
karena saya nggak mau repot dengan birokrasi dan administrasi ganti nama yang merepotkan.
atau.. jangan jangan setelah saya ganti nama saya. ada beberapa perangkat kelurahan yang kerumah dan saya disuruh buat SKBRI lagi nih.. wah gawat..
yang jelas setelah film ini dibuat, kalau kita mencari nama Sugiharti halim kita akan dapatkan 4000 lebih hasil pencarian dari google, mantap nian..
sekilas info soal film ini..
Sugiharti Halim | | Cast: Maria Nadia, Hengky Hidayat
Sinopsis:
Apa artinya sebuah nama? Bagi Sugiharti Halim, ternyata nama berarti sejumlah pertanyaan panjang. Kadang kocak, kerap menjengkelkan, dan yang jelas penuh kontradiksi: Apa benar seseorang perlu nama ‘asli’? Apa betul nama bisa dijual? Apa iya identitas bisa disamarkan di balik sebuah nama? Sugiharti Halim menawarkan sebuah cara pandang yang jenaka, ‘nyelekit’, sekaligus kontekstual untuk ditilik lagi hari ini*.
Tentang Kineruku:
Kineruku, digawangi oleh Ariani Darmawan, Budi Warsito, dan Joedith Tjhristianto, adalah sebuah rumah produksi yang memfokuskan diri pada karya-karya gambar bergerak (film, instalasi video, teater multimedia). Selain aktif dalam bidang produksi, Kineruku juga bergerak dalam bidang apresiasi (pemutaran film dan penyediaan referensi) dan akademis (penerbitan jurnal dan pemberian workshop film).
Karya-karya terpilih Kineruku Productions di antaranya adalah Sugiharti Halim (film pendek), Anak Naga Beranak Naga (film dokumenter tentang Gambang Kromong), TeSate Restaurant Video Installation (Plaza Senayan), Electronic City (teater multimedia, hasil kolaborasi dengan Mainteater, sutradara Wawan Sofwan).